FintalkUpdate News

Demam Emas Melanda Asia, Menguntungkan atau Berisiko bagi Indonesia?

Harga emas dunia terus melonjak, diprediksi bisa mencapai USD 4.500 pada akhir tahun. Membuat demam emas di Asia. Bagaimana dampaknya buat Indonesia?

Harga emas dunia kini menembus rekor tertinggi, mencapai lebih dari USD 4.100 per troy ounce, sementara di Indonesia harga jual emas batangan telah melampaui Rp 2,4 juta per gram, memicu fenomena “demam emas” di berbagai negara Asia, termasuk Indonesia.

Lonjakan harga ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Data Bloomberg menunjukkan harga emas sudah naik lebih dari 35 persen sepanjang 2025, didorong oleh melemahnya dolar AS, meningkatnya ketegangan geopolitik, serta ekspektasi bahwa bank sentral di sejumlah negara akan menurunkan suku bunga. Kondisi ini membuat investor global beralih ke logam mulia sebagai aset pelindung nilai (safe haven).

Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Dr. Bhima Yudhistira, fenomena kenaikan harga emas di Asia termasuk Indonesia merupakan dampak langsung dari pergeseran arah investasi global.

“Banyak negara di Asia, seperti China, India, dan Indonesia, mengalami peningkatan tajam dalam pembelian emas karena dianggap lebih stabil dibandingkan aset keuangan lain. Selain karena faktor geopolitik, ada pula kekhawatiran terhadap inflasi dan ketidakpastian ekonomi global,” ujarnya.

Bhima menambahkan, permintaan emas fisik di Asia melonjak karena dua faktor utama: pelemahan mata uang lokal terhadap dolar AS dan meningkatnya minat masyarakat terhadap aset riil. Akibatnya, harga emas di kawasan ini bahkan sempat lebih tinggi dibandingkan harga acuan internasional akibat lonjakan permintaan domestik.

Meski begitu, Bhima mengingatkan masyarakat agar tetap berhati-hati.

“Kenaikan harga emas ini bersifat siklus. Bisa jadi masih akan naik dalam jangka pendek, tapi potensi koreksi juga besar. Jadi jangan terburu-buru membeli di puncak harga,” jelasnya.

Sementara itu, analis komoditas Satrio Utomo dari IndoGold memperkirakan harga emas masih berpotensi naik hingga USD 4.300–4.500 per troy ounce pada akhir 2025, terutama jika The Fed benar-benar memangkas suku bunga dan ketegangan di Timur Tengah tidak mereda.

“Namun, begitu stabilitas ekonomi global mulai pulih, emas bisa terkoreksi 10–15 persen. Karena itu, strategi investasi bertahap (dollar cost averaging) tetap paling aman,” ujarnya.

Data pasar juga menunjukkan bahwa permintaan emas batangan di Asia meningkat hingga 40 persen selama paruh kedua 2024, dengan lonjakan tertinggi di India dan China. Di Indonesia, toko emas dan platform digital investasi mencatat peningkatan pembelian hingga 30 persen dalam dua bulan terakhir, terutama oleh kelompok usia muda yang ingin melindungi aset dari inflasi.

Read More  55 Tahun Fuso di Indonesia, Tampilkan Truk Masa Depan

Namun, lonjakan ini bukan tanpa risiko. Bhima menjelaskan, jika masyarakat membeli emas di harga puncak tanpa mempertimbangkan jangka waktu investasi, potensi kerugian tetap ada.

“Emas cocok untuk penyimpanan nilai jangka panjang, bukan untuk mencari keuntungan cepat. Kalau tujuannya spekulatif, risikonya tinggi,” tegasnya.

Dengan harga yang terus menanjak dan ketidakpastian ekonomi global, fenomena “demam emas” di Asia mencerminkan kekhawatiran masyarakat terhadap kondisi keuangan dunia. Bagi Indonesia, kenaikan ini bisa menjadi peluang sekaligus tantangan—menguntungkan dari sisi ekspor tambang, tetapi berisiko bagi konsumen domestik yang membeli di harga puncak.

Back to top button